Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

| | 0 komentar


I. Pendahuluan
Ketika berbicara mengenai perempuan di dalam Islam, sebagian besar orang menyangka bahwa kita akan membicarakan sebuah persoalan yang terpisah. Padahal kenyataannya di dalam Islam tidak seperti itu. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan sedemikian rupa yang mengesankan bahwa perempuan adalah entitas lain yang berbeda dengan laki-laki. Di dalam Islam seluruh manusia adalah sama, baik ia seorang laki-laki atau pun perempuan. Mereka adalah kelompok makhluk Allah yang sejajar dan satu tingkatan. 

Laki-laki dan perempuan sama di hadapan hukum dan tanggung jawab sebagaimana tingkat kemanusiaannya yang juga sama. Hanya saja, dalam beberapa keadaan dan tuntutan tertentu perempuan berbeda dengan laki-laki. Hal ini sesuai dengan fitrah alamiah dan hikmah Allah dalam ciptaannya yang beraneka ragam dan mempunyai keunikan tertentu di alam semesta.

Diantara keinginan Allah dalam hal hukum khusus bagi perempuan adalah masalah kepemimpinan. Hal ini juga yang menjadi sasaran yang digunakan oleh musuh Allah dalam memojokkan Islam. Tuduhan bahwa Islam tidak adil dan merugikan manusia yang berjenis kelamin perempuan sering dilontarkan. Salah satunya dalam hal hak wanita untuk menjadi pemimpian. 

Bagaimana sesungguhnya posisi perempuan dalam hak kepemimpinan. Benarkah seperti yang dituding oleh orang-orang yang menamakan diri mereka pejuang hak perempuan. Hal inilah yang berusaha penulis teliti dan tuangkan dalam karya ilmiah ini. 

An Overview of Islamic Economic

| | 0 komentar

Islam as a way of life, cakupannya meliputi prinsip hidup, norma, etika, cara pandang terhadap materi dan pemenuhan kebutuhan rohani, ekonomi, politik, sosial, dan hokum. Tidak benar jika dikatakan bahwa Islam hanya mengurusi masalah hubungan rohani manusia dengan Tuhannya saja. Islam tidak boleh memasuki ranah kegiatan ekonomi manusia, atau bahkan dikatakan bahwa Islam karena berbagai sistem nilai dan tatanan normatifnya dianggap sebagai an obstacle to economic growth (penghambat pertumbuhan ekonomi).

Keadaan ekonomi manusia yang saat ini secara jelas berkiblat ke barat dengan ekonomi kapitalisnya, tidak bisa dianggap berhasil. Beberapa pembagunan memang terus diadakan. Berbagai kemajuan materi dicapai oleh manusia. Komunikasi dan transportasi tidak lagi menjadi masalah. Akan tetapi sesungguhnya sitemnya amatlah buruk. Kebebasan kepemilikan tanpa batas telah menyebabkan kekayaan hanya dimiliki oleh segelintir orang di bumi. 

Sementara setengah penduduk dunia lainnya benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan.
Dalam hal ini lihatlah bagaimana nasib rakyat negara kita. Negara yang kaya dengan segala anugerah Allah. Air yang melimpah, udara yang bersih, tanah yang subur, hujan yang cukup, cahaya matahari yang hangat sepanjang tahun adalah anugerah yang tidak dapat dihitung. Tapi lihatlah bagaimana kita hidup. Sebagian besar masyarakat harus berusaha keras untuk bertahan. Kita sama sekali tidak pernah merasakan hasil sumberdaya yang ada. Karena ternyata objek-objek strategis itu telah dikuasai oleh asing. Gas, minyak, emas, dan banyak yang lainnya. Kekayaannya milik kita tetapi pemerintah kita telah menjual murah kepada asing.

Ada sistem lain yang seolah-olah dapat menjadi obat penawar bagi sistem yang buruk sebelumnya. Sosialis. Menurut sosialis kepemilikan atas modal dan property sama sekali tidak diakui. Dengan alasan keadilan. Akan tetapi efeknya jauh lebih parah dari sebelumnya. Tidak ada kemajuan, tidak ada persaingan sehat, tidak ada keinginan untuk memaksimalkan potensi yang ada. Pengaturan ekonomi yang terpusat membuat kehidupan menjadi statis karena telah diatur oleh negara. Bahkan lebih parah dari itu, walaupun disebutkan bahwa tujuan dari sistem seperti ini adalah pemerataan dan keadilan, namun pada kenyataannya, ekonomi seperti ini hanyalah alat bagi pemerintah yang berkuasa untuk memperkaya diri sendiri. 

Dalam hal ini sesungguhnya Islam telah menetapkan ketentuannya. Hak milik tidak sebebas-bebasnya dapat diambil oleh individu. Ada hak milik umum dan ada objek-objek tertentu yang harus dikuasai oleh negara. Seperti energy dan objek vital lainnya. Seharusnya tidak ada swastanisasi dalam SDE (Sumber Daya Energi). Kebutuhan rakyat terhadap energy dalam segala betuknya harus dijamin oleh negara.

Kemudian, yang selalu membuat masalah pada sistem keuangan yang kita pergunakan saat ini adalah krisis keuangan yang selalu bermula dari pasar modal. Praktik-praktik spekulasi, short selling, menjadikan uang sebagai komoditi adalah akar permasalahannya. Uang-uang yang diukur dengan angka-angka digital di layar komputer adalah kekayaan yang dengan berbagai transaksi dapat menggembung dan bertambah fantastis. Dalam Islam uang adalah alat tukar. Uang juga adalah penyimpan nilai dan penyimpan kekayaan. Oleh karena itu uang harus ditempatkan sebagaimana posisinya. Uang seharusnya mempunyai nilai fisik yang sama dengan nominalnya. Sebagaimana uang dinar dan dirham yang dipergunakan pada masa Rasulullah. Akan tetapi penggunaan uang fiat yang dianggap kecerdikan telah menyebabkan kebijakan-kebijakan pengaturan dan pencetakan uang diserahkan kepada pemerintah yang tidak ada jaminan keamanahannya. 

Barangkali yang dekat dengan masyarakat kita adalah penyelesaian permasalahan keuangan saat membutuhkan bank untuk mendapatkan pinjaman. Uang harus dikembalikan dengan cara angsuran dengan bunga yang tetap. Untung atau rugi, uang harus dikembalikan beserta tambahannya itu. Akhirnya usaha-usaha di sector riil sulit untuk bertahan. Sementara aliran uang terus mengalir bagi pemilik uang. Hingga pada suatu titik tertentu ketika bank dengan keserakahannya dengan mudah menyalurkan dana agar mendapatkan bunga, terjadi kehancuran dalam tatanan ekonomi. Kredit bermasalah menyebabkan bank menjadi kewalahan. Para peminjam ternyata memang tidak berhasil dalam mengelola uang pinjaman tadi. Satu hal yang dilupakan di sini. Yaitu bahwa dalam usaha, kadang-kadang untung, akan tetapi di waktu lain bisa saja rugi. 

Hal inilah yang telah dicover oleh Islam. Islam menyadari sepenuhnya. Semua bentuk transaksi harus wajar dan logis. Islam memiliki berbagai bentuk akad yang jelas. Dalam mudhorobah misalnya, pengusaha harus mengembalikan uang pemilik modal beserta persentase keuntungan, bukan bunga tetap. Bahkan ketika terjadi kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaian pengusaha, pemilik modallah yang menanggung kerugian. Walaupun sesungguhnya pengusaha juga rugi karena kehilangan kesempatan usaha. 

Beberapa kalangan, bahkan para cendikiawan mengatakan bahwa keadilan yang dicanangkan dalam ekonomi Islam hanyalah wacana yang tidak mungkin diterapkan. Mereka menyorot permasalahan bahwa di dalam harta orang kaya terdapat hak orang miskin. Menurut mereka berdasarkan hal ini maka orang miskin akan selamanya miskin karena orang miskin merasa ada yang bertanggung jawab atas mereka. Sehingga persaingan, perlombaan dalam mencari kekayaan hanya akan terjadi antara orang kaya sesama orang kaya yang mempunyai ilmu dan mengerti bagaimana cara berusaha. 

Akan tetapi sebenarnya logikanya tidaklah sesederhana itu. Tidak ada orang miskin yang benar-benar senang merasa miskin bahkan seandainya memang hidupnya ditanggung oleh seseorang. Akan tetapi ketika sistem yang ada tidak memberinya kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri, ketika sistem yang ada tidak pernah berpihak kepadanya, ketika orang kaya diizinkan menghisap mereka dari segala celah, dengan tidak adanya kesempatan memiliki modal usaha, tidak ada asuransi bagi jiwa dan kesehatannya sebagai pekerja, kebijakan pemerintah yang membuat kekayaan alam disekeliling mereka dibiarkan diambil oleh orang lain karena kemampuan mereka belum dapat menyaingi orang asing itu dan lain sebagainya, maka sistem itulah yang harus diperbaiki. 

Zakah sebagai kewajiban utama di dalam Islam sebenarnya dapat menggerakkan potensi perputaran uang dan pada gilirannya dapat menumbuhkan ekonomi. Karena mustahik tahun ini, ditargetkan untuk menjadi muzakki sekian tahun berikutnya. Pemerataan pendapatan dan keadilan dalam Islam bukanlah semata-mata didasarkan pada ‘rasa belas kasih’ akan tetapi berupa kewajiban yang ada hitungan persentasenya. Sementara sadaqah dan pemberian sukarela lainnya hanyalah dalam keadaan jika pemberi merasa kelebihan harta.

Dari aplikasi nyata dalam kehidupan Rasulullah kita dapat dapat melihat bahwa Zakat ditunaikan dengan tidak hanya dalam bentuk uang. Zakat yang berupa bahan makanan misalnya dimaksudkan agar orang miskin mampu bekerja setelah itu, zakat mendorong untuk seseorang agar tidak menjadi pengangguran, sehingga dia mempunyai penghasilan.
Pada dasarnya, dalam Islam, tanggung jawab pemerataan dan keadilan dalam ekonomi masyarakat dipegang oleh pemerintah sebagai ‘regulator’. Jaminan kehidupan yang layak bagi yatim, jompo, dan orang cacat misalnya, adalah tugas pemerintah. Selain itu, peraturan yang menyangkut keamanan tenaga kerja, kepemilikan modal atas objek vital milik negara juga harus diatur oleh negara. Negara juga bertanggung jawab dalam pengadaan sarana yang dapat dipergunakan untuk memberdayakan SDA yang ada.

Pemikiran ekonomi pada awalnya ditulis oleh para ulama muslim. Banyak karya-karya besar yang telah menyinggung konsep ekonomi modern yang ditulis belasan abad lalu. Namun karena khilafah tidak lagi dijalankan, maka ekonomi Islam pun tidak ditegakkan. Apalagi berbagai serangan pemikiran dan mind control yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam berupa pemikiran sekuler yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat telah membuat ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam telah ketinggalan dalam prakteknya jika dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Jangan kira bahwa ekonomi konvensional telah ditinggalkan begitu saja walaupun telah tampak kegagalannya. Malah hingga saat ini mereka masih mengitung penghasilan bunga tahunan, pertumbuhan ekonomi sekian persen dengan suku bunga sekian, perumbuhan kredit dan lain sebagainya. Maka saya ingin katakan di sini, bahwa tugas menegakkan ekonomi Islam berada di pundak kita. Kitalah para pejuang ekonomi yang akan menjalankan ekonomi dengan prinsip Islam yang universal dan komprehensif. Dengan sekuat tangan, curahan fikiran, tetesan keringat, dan segenap hati kita, kitalah yang akan mengembangkan ekonomi Islam sehingga dapat menjawab kebutuhan manusia di zaman modern ini. Setiap ideology ada pejuangnya, bahkan ideology yang cenderung kepada kekerasan pun diperjuangkan oleh banyak orang. Maka inilah kita generasi baru, generasi yang ditunggu, yang akan memperjuangkan ideology yang kita pegang teguh, iman

Refleksi Akhir Tahun Pelajaran

| | 0 komentar

Beragam jenis perasaan berkecamuk saat ini. Bahagia karena kerja keras selama setahun telah dinilai oleh Al Azhar. Hasilnya telah dilihat sendiri. Selembar kertas berisi angka-angka itu menjadi sangat berarti. Angka-angka di sana terasa sangat sakti. Angka itu adalah takaran kesungguhan, barometer pencapaian dalam eksekusi amanah dan pelaksanaan tanggung jawab. Pada saat yang sama angka itu juga ukuran keberhasilan menguasai satu bidang ilmu yang menuntut wujud nyata berupa aplikasi dan amanah ilmu lainnya; menyampaikan.

Satu angka yang kecil bisa jadi lebih baik karena ia lebih jujur menjadi tempat refleksi diri sendiri dan orang lain. Bahwa kemampuan belum setitik nila, bahwa ilmu yang di dada mungkin benar baru segitu adanya. Memberi ruang untuk menginsafi diri bahwa ilmu tidak mudah ditaklukkan. Memadamkan keangkuhan untuk sekedar membuka kembali baris demi baris warisan pengetahuan di dalam diktat kuliah. Mengambil kembali beberapa atau banyak hal yang tercecer.

Beberapa angka sempurna atau mendekati sempurna juga berebutan ingin diartikulasi. Benarkah pencapaian pemahaman dan melekatnya ilmu di dada sesempurna angka hebat yang diberikan. Mengajak diri menilai sejujurnya karena sesungguhnya tak ada yang mengenal diri kecuali diri sendiri. Pantas atau tidakkah, terlalu berlebihankah atau memang selayaknya. Kuatkah memikul tanggung jawab yang menjadi turunan kesempurnaan penilaian yang telah disematkan orang lain.

Masih ada yang tersisa jika bersedia memandang melalui lorong yang lebih luas. Sebuah lorong seperti pipa atau teropong raksasa. Sebesar apa arti pencapaian penguasaan ilmu bagi kemanusiaan di dunia nyata. Apakah dinding ke-tidaktersentuhan- masih berdiri. Kemanusiaan tak tersentuh oleh ilmu. Orang berilmu tidak mengerti dan tidak bisa memberi kebutuhan sesungguhnya dari manusia. Utamanya ilmu yang ditekuni di sini, bumi yang orang-orang menyebutnya bumi para nabi. Ilmu tentang mengenalkan manusia kepada Tuhannya, lalu mengajak hidup di jalanNya, memberitahu yang diinginkan dan tidak diinginkanNya; menjelaskan segala sesuatu dalam kerangka halal dan haram. Tugas dengan gambaran inilah yang sesungguhnya dinanti. Ada kelebat kilas balik amanah ini saat memandang angka-angka yang tertulis itu. Masih berupa harapan, semoga kedepan lebih baik.

Nilai berbentuk angka-angka itu juga menjadi titik rawan perjalanan keikhlasan menuntut ilmu. Apakah kebahagiaan yang dirasakan telalu berlebihan besarnya hingga membuat retak bangunan keikhlasan yang selama ini dijaga. Elu puji bahkan hanya ucapan selamat bisa jadi angin beracun yang berbahaya. Lupa niat semula yang menempatkan Allah saja sabagai alasan dan tujuan segala gerak-gerik. Punya ilmu karena Allah atau karena mendamba angka beserta sederet prestise yang mengikutinya. Rasa senang dan syukur tiba-tiba menjadi liar menggores senyum yang bukan lagi berarti terima kasih atas nikmatNya, tetapi senyum yang disertai sejumput signal lemah dari dalam hati mengantarkan kebanggaan. Entah siapa yang menjamin dia akan selamanya hanyalah isyarat lemah.

Kebahagiaan kadang memang bersisian dengan kesedihan orang-orang yang begitu berarti dalam sebuah perjalanan yang sama. Keputusan terbaik Tuhan kadang tak tercerna oleh hati yang lemah. Memandang wajah sahabat yang menerima keputusan terbaikNya dengan bagian yang berbeda. Setelah melewati hari-hari yang sama jumlahnya, kepenatan yang sama, keunikan-keunikan kampus baru yang membuat tertawa sekaligus miris secara bersamaan, melewati debar-debar yang sama. Ada rasa perih yang menggenggam, membuat dada menciut. Kebersamaan selanjutnya tak lagi akan benar-benar sama. Tapi tentu sesungguhnya tak ada yang kalah. Hanya saja ada yang diberi kesempatan sedikit lebih panjang olehNya untuk memuaskan kehausan akan ilmu di negeri mata air ilmu ini. Ia memberi waktu untuk memungut kembali potongan-potongan yang memang amat sayang dilewatkan.

Tak seorang pun yang setuju bahwa selembar kertas itu adalah segalanya. Hanya media evaluasi periodik. Ada buku catatan nilai lain yang jauh lebih besar yang mesti dicicil mengisinya sebaik-baiknya. Catatan nilai yang dengan tingkat keakuratan maha sempurna. Jika menerima catatan hasil belajar membuat jantung tak sanggup berdegup teratur, entah bagaimana mendebarkannya menerima catatan amal. Semoga perolehan ini menambah akumulasi catatan nilai sesungguhnya itu.

Alhamdulillah wa syukrulillah. Subhanaka waastagfiruka. Momen memancang rencana-rencana selanjutnya. Beserta target-target lebih baik, jika perlu merombak sesuatu yang mungkin menghalangi. Peroleh prestasi lebih baik. Satu lagi perasaan yang tak biasa. Ambisi menghadiahkan yang terbaik untuk diri sendiri dan orang-orang yang disayangi tak boleh pudar. Lalai saat ini menjadi cemeti memberikan dedikasi optimal di hari-hari depan. Bukan hanya karena orang lain telah membuktikan mampu, tapi mempertahankan keyakinan kepada diri sendiri adalah perlu. Amat disayangkan jika sampai roboh oleh kecerobohan